Pandemi Covid-19 berdampak besar pada sistem ‘ekonomi berbagi’ yang sering disebut sebagai ‘gig economy’.
Mengutip Statista, dunia pariwisata dunia merupakan sektor yang paling terpukul. Diperkirakan jatuh dari USD 685 Miliar di tahun 2019 ke USD 396 Miliar di tahun 2020. Sebagaimana diwartakan Reuters, dunia penerbangan internasional kini kehilangan 1,2 miliar penumpangnya akibat pandemi Covid-19.
Perusahaan startup segmen tersebut sangat erat dengan prinsip ‘sharing economy‘ membagi aset secara ‘peer-to-peer‘ dengan transaksi yang dilakukan secara terdesentralisasi antar-individu.
Dalam laporan Komisi Perdagangan Federal AS yang bertajuk “The ‘Sharing’ Economy Issues Facing Platform, Participants and Regulators” (2016) menyebutkan bahwa dalam konteks kerangka teknologi, ‘sharing economy‘ merupakan ‘marketplace‘ yang dikelilingi tiga pemain utama: platform (aplikasi), sebagai tempat berlangsungnya ‘sharing economy‘, penjual, dan pembeli.
Laporan tersebut menyatakan platform atau aplikasi berguna untuk “mempertemukan individu yang memiliki suatu barang dengan seseorang yang menginginkan barang tersebut.”
Di waktu-waktu normal, ini tidak jadi soal. Namun, di masa pandemi, pertemuan antar pengguna platform atau aplikasi — baik yang menawarkan jasa maupun pengguna jasa — sukar dilakukan.
Menurut Direktur Wedbush Securities Daniel Ives, dunia ‘sharing economy’ atau yang acap disebut ‘gig economy’, bisnis ini akan kehilangan 30 persen pendapatannya dalam satu hingga dua tahun mendatang.
Mengutip laporan AppJobs, platform komparasi aplikasi kerja yang melakukan survei pada 1.400 pekerja ‘gig economy‘ (semisal pengemudi Uber) yang terdampak pandemi COVID-19, 52 persen responden menyatakan sudah kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Yang paling menyedihkan, hanya 23 persen responden yang mengaku memiliki tabungan untuk bertahan hidup.