Pandemi Covid-19 membawa dampak serius bagi bisnis rintisan (startup) di Indonesia. Gojek, Grab, Traveloka, dan beberapa startup terkena imbas serius. Bahkan, ada yang naas sampai ‘shut down‘ layanan. Pola bakar uang yang selama ini dipakai oleh perusahaan-perusahaan startup itu di-KO-kan oleh virus corona. Era bakar uang sudah ‘over game’. Finish alias tamat.
Ekonom senior dan Bekas Menteri Keuangan Chatib Basri pernah mengingatkan kepada para pelaku bisnis startup untuk mengubah pola bisnisnya di tengah kondisi Covid-19. Sebab, dampak adanya pandemi ini kepada perekonomian, sumber pembiayaan akan semakin terbatas.
“Jadi pola bisnis yang bakar uang itu enggak bisa lagi terus begini,” kata Chatib dalam sebuah diskusi daring, 4 April lalu.
Dia mengatakan pula pelaku bisnis rintisan pun tidak bisa lagi bergantung kepada “gross merchandise value” alias GMV. Dalam kondisi krisis seperti ini para pebisnis startup sudah berpikir soal profitabilitas usaha. “Kalau kalian bisa operation expense-nya bisa diatasi dan variable cost-nya bisa cukup bayar gaji. Kalian akan survive,” jelas Chatib.
Selain soal profitabilitas usaha, Chatib juga menyinggung soal kreativitas melihat peluang pasar agar bisnis startup bisa ‘survive’ melewati krisis. Dalam situasi ini banyak aktivitas baru yang muncul dan bisa difasilitasi dan dijadikan peluang ceruk pasar.
Perang Bakar Uang: Grab Vs Gojek
Sebelum Covid-19 datang, strategi bakar uang ini sudah bikin perusahaan terseok-seok. Baik Gojek dan Grab menjalankan usahanya dengan pola ‘bakar uang’. Mereka gencar bakar uang dengan memberikan diskon yang besar, melakukan perang tarif, yang tujuannya agar konsumen tertarik menggunakan layanan jasa mereka.
Strategi bakar uang ini memunculkan ‘predator jalanan’ yang sering disebut ‘predatory pricing‘ alias jual rugi untuk mematikan saingannya sehingga bisa memonopoli pasar.
Gojek mulai beroperasi di Indonesia sejak tahun 2010, dua tahun kemudian Grab berdiri di Malaysia dan mulai masuk ke Indonesia pada tahun 2014. Kedua perusahaan ‘ride-hailing’ ini kini berperang untuk menjadi pemenang di kawasan Asia Tenggara.
Kedua startup ini juga sudah menyandang status ‘decacorn‘ atau bervaluasi di atas US$ 10 miliar. Keduanya juga cukup aktif mengumpulkan dana investor. Gojek ditaksir sudah mengumpulkan dana lebih dari US$ 3,5 miliar sementara Grab sudah mengumpulkan US$9,1 miliar.
Vice President Corporate Affair Gojek, Michael Say, pernah memberikan gambaran betapa besar uang perusahaan Gojek yang “dibakar” jika setiap trip Gojek memberikan subsidi (bonus) sebesar Rp 50, sementara setiap bulan ada 100 juta transaksi.
Namun Grab membakar uang tidak kalah gila. Dampaknya terlihat pada dua investor Grab yang mengalami kerugian besar.
SoftBank Group, investor Tokopedia dan Grab melaporkan laba perusahaannya hangus terbakar 99,4 persen.
Pada kuartal II untuk tahun fiskal 2020, laba SoftBank anjlok parah setelah anak usaha unit investasinya Vision Fund mencatatkan kerugian US$100 miliar (setara Rp 1.400 triliun).
Sepanjang Oktober-Desember 2019, Vision Fund mencatatkan rugi operasional 225 miliar yen (setara US$2,05 miliar) padahal periode yang sama tahun sebelumnya masih mencatatkan laba 176 miliar yen.
Gara-gara kerugian ini laba operasional SoftBank anjlok parah dari 438 miliar yen pada 2019 menjadi 2,6 miliar yen atau terjun bebas dalam 99,41%. Kinerja keuangan ini jauh dari prediksi analis yang memperkirakan SoftBank meraup laba 345 miliar yen, seperti dilansir dari Reuters, awal Februari lalu.
Kerugian yang diderita Vision Fund juga menimbulkan pertanyaan pada strategi Masayoshi Son, Pendiri SoftBank yang sering menyuntikkan dana jumbo ke startup yang bisnisnya belum teruji.
Akhir November tahun lalu, pemilik Grup Lippo, Mochtar Riyadi, dalam acara “Digital Conference” pernah membuat kegegeran. Gara-garanya, ia jujur menyampaikan soal bakar uang yang dilakukan oleh Lippo Group untuk menopang OVO, dompet digital yang berafiliasi ke Grab juga.
“Terus bakar uang, bagaimana kami kuat?” kata Mochtar Riyadi waktu itu. Mochtar mengaku Lippo sudah melepas dua per tiga sahamnya di OVO, hingga tersisa sekitar 30 persen saja. Pelepasan saham itu, menurutnya, perlu dilakukan mengingat OVO terus “membakar uang” dengan memberikan cashback dan promo yang cukup besar.
Menurut Bhima Yudistira, Pengamat Ekonomi INDEF sudah memperkirakan sejak akhir tahun lalu bahwa era bakar uang akan berakhir tahun 2020, jauh sebelum datangnya Covid-19.
“Salah satunya burning money di dalam startup, at the end of the day, kemungkinan besar di tahun 2020 akan terjadi koreksi yang luar biasa besar. Artinya jumlah pemain uang digital yang jumlahnya puluhan itu akan mengerucut menjadi 2 atau 3 pemain besar terkonsolidasi,” kata Bhima dalam acara Selular Telco Outlook 2020, Desember tahun lalu.
Menurutnya meskipun Lippo hanya memiliki sebesar 30% saham di OVO namun tetap menjadi pemegang saham utamanya. Tak kuat lagi bakar uang untuk membesarkan perusahaan menjadi pertimbangan untuk membagi beban tersebut dengan investor lain. Hal ini dilakulan untuk berbagi keuntungan tapi berbagi kerugiaan.
Ibaratnya, dengan strategi bakar uang, perusahaan bisnis startup sudah terseok-seok, dengan datangnya Covid-19 ini dengan resmi mengakhiri perang bakar uang ini.
Maka, agar bisnis rintisan ini tetap bisa ‘survive‘ di tengah krisis pandemi covid-19, seperti yang disampaikan oleh Chatib Basri, tergantung pada berjalannya profibilitas usaha dan kreativitas bisnis rintisan mencari peluang sebagai ceruk baru pasar.