Brand awareness bagi sebuah produk atau jasa sangat lah penting dalam bisnis apa pun. Terdapat keterkaitan antara brand awareness yang dibangun dengan ketertarikan konsumen menggunakan atau membeli produk tersebut.
Salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan brand awareness ialah melalui publikasi. Media merupakan salah satu alat untuk publikasi. Keberadaan media di tengah masyarakat dianggap mampu meningkatkan akses informasi sehingga lebih cepat tersebar.
Sebuah perusahaan seperti perusahaan rintisan (startup) perlu menjaga hubungan baik dengan media. Karena nantinya media yang akan berperan dalam proses peningkatan brand awareness mereka.
Lars Voedisch, Managing Director PRecious Communications, menyampaikan kesalahan umum yang seringkali dilakukan startup kala berinteraksi media. Kesalahan ini dapat menjadi bumerang dan berpotensi menciptakan dampak negatif dalam upaya publikasi startup tersebut.
Pertama, perusahaan tidak berpikir secara taktis terkait dengan konten eksklusif. Dengan membuat konten secara eksklusif terhadap media tertentu, secara tidak langsung perusahaan sudah membatasi jumlah pembaca. Hal tersebut berarti semakin sedikit orang yang mengetahui kabar atau pun produk terbaru dari startup terkait.
Kedua, perusahaan tidak melakukan pengumuman penting melalui akun atau kanal resmi. Informasi apa pun terkait pencapaian perusahaan tidak seharusnya disebar oleh pihak lain sebelum ada pengumuman resmi. Terlebih jika sebelumnya perusahaan sudah membuat rencana publikasi melalui media. Ketertarikan media cenderung berkurang jika informasi yang didapat berasal dari jalur informal.
Ketiga, ketidakteraturan interaksi dengan media. Perusahaan rintisan perlu memahami pentingnya kesinambungan berita dalam membangun cerita yang kuat melalui media. Hal tersebut berarti melibatkan media tidak hanya pada saat pengumuman penting atau pun launching produk semata.
Keempat, memiliki interaksi yang terlalu tinggi dengan media. Meski pada poin sebelumnya disebutkan interaksi yang teratur dengan media itu penting, perlu diperhatikan bahwa hal tersebut tidak berlaku untuk seluruh kasus.
Seperti misalnya, terus menerus menyampaikan komentar terhadap suatu isu justu akan mengurangi nilai berita dan juga perhatian terhadap perusahaan. Beberapa media pun memiliki kebijakan untuk tidak melakukan publikasi dari perusahaan atau tokoh yang sama secara berulang.
Kelima, perusahaan tidak memahami lanskap media. Kunci untuk dapat memahami lanskap media adalah dengan melakukan pemetaan jurnalis dan media yang sesuai dengan sektor perusahaan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui media mana yang tepat digunakan sebagai pihak untuk menyebar informasi.
Keenam, informasi yang disampaikan tidak konsisten dan cenderung membingungkan. Perlu diketahui bahwa tidak semua jurnalis betul-betul memahami sebuah perusahaan atau pun industri yang diliputnya. Sehingga pihak perusahaan perlu memosisikan diri sebagai orang awam ketika menyampaikan pesan kepada media.
Ketujuh, pihak perusahaan tidak memahami hak editorial. Dalam berinteraksi dengan media, perusahaan perlu memahami bahwa penerimaan keputusan editorial merupakan bentuk penghormatan terhadap institusi media. Jika dirasa perlu, maka perusahaan dapat meluangkan waktu dengan jurnalis atau pun editor untuk memahami cara kerja media.
Terakhir, perusahaan berusaha terlalu keras dalam menciptakan impresi. Interaksi dengan media memerlukan strategi yang direncanakan secara matang. Seringkali ditemui ada pendiri startup yang membeberkan rahasia perusahaan atau hal lain yang belum saatnya disampaikan ke publik.
Perusahaan perlu memikirkan fokus cerita atau narasi yang hendak disampaikan, fakta yang dapat memperkuat cerita tersebut, dan juga pandangan terkait industri dan pesaing. Hal ini diperlukan agar perusahaan dapat menyampaikan informasi secara holistik.