Aplikasi terpopuler di dunia tahun ini, TikTok, belakangan ini sering menjadi sorotan. Beberapa hal yang disorot ialah terkait isu keamanan data pada aplikasi serta dugaan adanya hubungan TikTok dengan pemerintah Cina.
Isu dugaan hubungan dengan Cina ini telah membuat TikTok kehilangan pasar terbesarnya, yaitu India. Negara lain seperi Amerika Serikat dan Australia juga sedang mempertimbangkan langkah serupa.
Startup yang berbasis di Beijing ini sedang mempertimbangkan berbagai opsi untuk TikTok di tengah tekanan dari Amerika Serikat untuk melepaskan kendali aplikasi.
Menghadapai kendala ini, ByteDance, startup yang merupakan induk perusahaan TikTok, memutuskan untuk memutus semua hubungan dengan Cina. Kedua investor terbesar ByteDance, Sequoia dan General Atlantic, dikabarkan akan mengambil alih aplikasi berbasis video tersebut dengan valuasi sekitar US$50 miliar (kurang lebih setara Rp732 triliun).
Valuasi perusahaan ini besarnya 50 kali lipat dari proyeksi pendapatan pada tahun 2020, yaitu US$ 1 miliar. Meski banya perusahaan teknologi yang mendapat kelipatan tinggi dari pendapatan, ByteDance jadi perusahaan pertama yang mencapai jumla 50 kali lipat.
Sampai saat belum ada kejelasan apakah pendiri dan CEO ByteDance, Yiming Zhang, akan menerima tawaran dari tersebut. Sebelumnya, eksekutif ByteDance memproyeksikan valuasi TikTok mencapai lebih dari US$50 miliar.
Pada 2021, TikTok berharap untuk mencapai US$6 miliar dalam pendapatan. Seiring makin bertumbuhnya TikTok, semakin banyak pula uang yang dihasilkan dari iklan. Jika menggunakan model proyeksi yang sama, maka pada tahun 2021, valuasi TikTok akan mencapai US$ 300 miliar.
ByteDance sendiri memiliki valuasi senial US$ 140 miliar pada awal tahun ini. Nilai tersebut muncul saat salah satu pemegang sahamnya, Cheetah Mobile Inc (CMCM.N), menjual saham kecil dalam kesepakatan pribadi.
(Indonesiatech)