Pada akhir bulan Mei lalu, ada sejumlah fintech lending yang mengembalikan status terdaftarnya pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena dinilai tidak menyanggupi beberapa ketentuan yang berlaku. Kondisi tersebut bisa menjadi peluang bagi pemain fintech lending melakukan akuisisi maupun merger agar dapat melanjutkan bisnisnya.
Saat ini, OJK memang sedang menyiapkan aturan baru terkait penyelenggaraan fintech peer-to-peer (P2P) lending, salah satunya terkait merger atau akuisisi tersebut.
Dalam salinan rancangan aturan tersebut, salah satunya mengatur agar kondisi keuangan penyelenggara hasil peleburan atau penggabungan harus memenuhi ketentuan ekuitas minimum. Dalam hal ini yang dimaksud ialah memiliki ekuitas 0,5% dari total pendanaan yang belum dilunasi (outstanding) harian berjalan atau sekurang-kurangnya mencapai Rp 10 miliar.
“Saat ini tahapan sudah finalisasi, mohon doanya,” kata Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan kepada Kontan.co.id, beberapa waktu lalu.
Bambang menambahkan, saat ini memang belum ada laporan terkait pengajuan platform yang akan melakukan merger ataupun akuisisi. Namun, ia tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat terjadi ke depannya karena beberapa faktor.
Ia menyoroti persaingan industri yang makin ketat menimbulkan potensi ada yang tidak mampu bersaing. Oleh karena itu, ia bilang ada fintech lending yang perlu melakukan konsolidasi untuk sinergi potensi yang dimiliki sehingga kinerja bisnis dapat diraih dengan lebih optimal.
“Adanya peraturan baru (yang sedang proses) juga dimungkinkan ada platform yang tidak mampu menyesuaikan sehingga berpeluang melakukan merger atau akuisisi,” tambah dia.
Pendapat berbeda terkait merger atau akuisisi disebutkan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah. Menurut dia, kemungkinan merger untuk saat ini masih mini karena beberapa fintech lending fokus untuk mendapatkan izin dari OJK terlebih dahulu.
“Sekalipun ada yang sudah mendapat izin, pasti fokusnya masih untuk melakukan ekspansi mengejar gap kredit yang Rp 1.600 triliun,” jelas dia.
Meski demikian, Kus bilang, aturan merger dan akuisisi fintech lending ini memang diperlukan. Mengingat, aksi merger atau akuisisi merupakan aksi natural yang terjadi di semua industri namun untuk fintech lending memang belum memiliki aturan terkait hal tersebut.
“Jadi sewaktu-waktu kalau misal ada yang melakukan merger atau akuisisi, aturannya sudah ada,” pungkas Kus.
SUMBER
(Indonesiatech)
Komentar