Sejak awal pandemi hingga April 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat dan melabeli lebih dari 1.700 hoaks soal Covid-19 dan vaksin. Para peneliti mengatakan salah satu penyebab utamanya adalah tingkat literasi (digital) masyarakat Indonesia yang masih mengkhawatirkan dengan masih banyaknya beredar hoaks di kanal-kanal platform media sosial.
Begitu yang disampaikan Dedy Helsyanto, Koordinator Program dan Pemeriksa Fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO).
Ia merujuk pada hasil survey Kominfo dan Katadata Insight Center di 34 provinsi mengenai kecakapan masyarakat dalam menggunakan media digital.
“Hasil survei tahun 2020 itu menyebutkan masyarakat kurang memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi hoaks, serta rentan ikut menyebarkan informasi hoaks.” kata Dedy.
Berbagai organisasi dari kalangan LSM, media dan pemerintah, terus berusaha meningkatkan literasi digital melalui berbagai program. Upaya yang paling populer adalah CekFakta, sebuah kolaborasi Mafindo dan puluhan media siber untuk memverifikasi konten-konten yang banyak tersebar di media sosial.
“Sekarang, partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam proses cek fakta makin naik, terutama kaum muda,” kata Elin Yunita Kristanti, Wakil Pemimpin Redaksi dan Manajer Program Pemeriksa Fakta Liputan6.com. Liputan6.com merupakan salah satu media yang tergabung dalam CekFakta.
Elin mengatakan menyampaikan, pemberantas hoaks diandalkan untuk mendeteksi misinformasi dan disinformasi yang beredar melalui grup-grup WhatsApp.
“Beda sama medsos lain yang bisa diakses dan diverifikasi oleh factchecker, kalau WA, gimana caranya? Terenskripsi, tertutup dan kita ngga bisa masuk. Pegiat cek fakta adalah upaya kami untuk meng-counter berita WA. Dengan harapan, anggota kami, ketika menemukan konten mencurigakan, akan membagikan ke redaksi, dan kemudian share fakta atau verifikasinya,” tambah Elin.
Pada April, Liputan6.com terpilih sebagai satu dari tujuh media di seluruh dunia yang menerima “Vaccine Grant Program” dari Jaringan Pemeriksa Fakta Internasional (IFCN) dan WhatsApp.
“Orang-orang itu mungkin tidak tersentuh akses informasi yang baik. Mungkin tidak tahu kemana harus konfirmasi. Tidak tahu CekFakta. Orang-orang itu yang ingin kita rangkul. Orang-orang yang underserved, under privileged di Indonesia,” lanjut Elin.
Demi menjangkau banyak lapisan masyarakat, Elin menggandeng jaringan radio lokal serta ribuan relawan. Beragam kegiatan edukasi dan advokasi juga terus dilakukan MAFINDO, seperti dengan mengajak mahasiswa memeriksa hoaks terkait pilkada, melatih perempuan melakukan verifikasi, serta mendirikan Hoax Crisis Center yang melibatkan tokoh-tokoh daerah.
“Mereka semakin memperbarui gerakannya, mulai dari teknis sampai substansi. Misal, mulai dari yang sifatnya sederhana, mudah dipahami, sampai provokatif. Sebaran makin menarik dan canggih modelnya atau sistemnya,” kata Dedy.
Merujuk pada pemilu 2024, Dedy mengatakan momen tersebut sangat rawan akan hoaks dan polarisasi, seperti yang terjadi pada pemilu 2019 lalu.
“Dari sekarang kita harus sama-sama kuatkan nilai-nilai lawan hoaks, gencarkan edukasi literasi digital. Jangan sampai ke depan kita ulang kesalahan yang sama. Banyak hoaks, korban, polarisasi, saling tidak percaya, turun reputasi. Hal-hal seperti itu sedini mungkin harus ditekan,” tambah dia.
Penting bagi setiap orang untuk aktif dalam memerangi hoaks. Salah satu cara yang paling mudah dan sederhana adalah menahan diri.
“Kalau terima informasi apapun. Apalagi yang mencurigakan. Cerna dulu, pikir dulu, sebelum share. Saring sebelum sharing. Pertahanan pertama kita terhadap fake news adalah tidak menyebarkan informasi yang mencurigakan,” pungkas Elin.
SUMBER
(Indonesiatech)
Komentar