Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Semuel A. Pangerapan mengimbau masyarakat untuk tetap waspadai modus pelaku penipuan online serta membiasakan diri melindungi data pribadi.
“Kominfo meminta masyarakat untuk mewaspadai ragam modus penipuan online yang biasanya terjadi di ruang digital, seperti phising, pharming, sniffing, money mule, dan social engineering,” ujar dia dalam Webinar Beritasatu “Mewaspadai Jeratan Pinjaman Online Ilegal” dari Jakarta, Kamis (19/08).
Dirjen Semuel mengatakan, modus penipuan berupa phising dilakukan oleh oknum yang mengaku dari lembaga resmi dengan menggunakan telepon, email atau pesan teks.
“Seolah-lah dari lembaga resminya, namun sebetulnya mereka ingin menggali supaya kita memberikan data-data pribadi kita. Data-data pribadi ini biasanya digunakan untuk kejahatan berikutnya. Mereka menanyakan dat-data sensitif untuk mengakses akun penting yang mengakibatkan pencurian identitas hingga kerugian,” jelasnya.
Oleh karena itu, apabila mengalami hal ini, masyarakat harus teliti membaca dengan benar dan melihat secara seksama isi dari SMS maupun email apakah benar pengirimnya berasal dari institusi asli.
Modus kedua, menurut Dirjen Aptika Kementerian Kominfo, adalah phraming handphone, yaitu penipuan dengan modus mengarahkan mangsanya kepada situs web palsu dimana entri domain name system yang ditekan/di-click korban akan tersimpan dalam bentuk cache.
“Sehingga dapat memudahkan pelaku untuk mengakses perangkat pelaku secara illegal. Contohnya, pembuatan domain seolah-olah mirip dengan asal institusi dari yang aslinya. Pelaku akan menaruh atau memasang malware supaya nantinya bisa mengksesnya secara illegal. Kasus seperti ini banyak terjadi umpamanya ada yang whatsapp-nya disadap/diambilalih karena ponsel sudah dipasangkan malware oleh pelaku sehingga data-data pribadinya dicuri,” papar Semuel.
Sedangkan modus ketiga, oknum pelaku akan meretas untuk mengumpulkan informasi secara illegal lewat jaringan yang ada pada perangkat korbannya dan mengakses aplikasi yang menyimpan data penting pengguna.
“Sniffing ini paling banyak terjadi bahayanya kalau kita menggunakan/mengakses wifi umum yang ada di publik, apalagi digunakannya untuk bertansaksi. Ini bahaya, karena sniffing itu kan biasanya terjadi di jaringan yang umum diakses publik, di situlah pelaku memanfatkannya,” tuturnya.
Modus keempat, yakni money mule, biasanya oknum meminta korbannya untuk menerima sejumlah uang ke rekening untuk nantinya ditransfer ke rekening orang lain.
“Kalau di luar negeri mereka berani kliring cek, kita dapat cek tapi begitu kita periksa ternyata cek itu bodong. Begitu kita masukkan, kan kalau di sana prosesnya masuk itu muncul dulu di rekening kita. kalau ternyata tidak clearing, dipotong. Lalu, jika sudah digunakan harus dikembalikan,” jelas Semuel.
Dirjen Semuel melanjutkan, di Indonesia sendiri biasanya pelaku akan meminta calon korban untuk pembayaran pajaknya dikirim terlebih dahulu.
“Money mule ini biasanya ditanyakan pelaku dengan calon korban, maukah dapat hadiah atau pajaknya dikirim dulu. Jadi, sekarang itu masyarakat perlu berhati-hati karena money mule ini digunakan untuk money laundry atau pencucian uang. Kamu akan saya kirim uang, tapi harus transfer balik ke rekening ini. Jadi, ini juga marak dan perlu kita waaspadai,” tegas dia.
Sedangkan yang terakhir, modus kelima, adalah social engineering. Ia menegaskan modus ini perlu diwaspadai agar tidak terjadi penipuan online.
“Jadi social engineering ini, pelaku memanipulasi psikologis korban hingga tidak sadar memberikan informasi penting dan sensitif yang kita miliki. Pelaku mengambil kode OTP atau password karena sudah memahami behavior targetnya. Dengan kata lain, masyarakat seringkali tidak sadar seringkali membagikan data-data yang seharusnya perlu dijaga,” jelas Dirjen Aplikasi Informatika.
Menurutnya, aktivitas transaksi di ruang digital dapat menimbulkan seseorang melakukan tindak kejahatan berupa penipuan online.
“Bukan tanpa alasan, mengingat saat ini terdapat 202,6 juta pengguna internet di Indonesia. Ini angka yang sangat besar, yang aktif di sosial media ada 170 juta jiwa atau 87% menggunakan aplikasi jejaring pesan Whatsapp, 85% mengakses Instagram dan Facebook, dengan rerata penggunaan 8 jam 52 menit sehari. Jadi, ini melebihi batas waktu masyarakat kita berkomunikasi di ruang digital sehingga dapat memicu seseorang melakukan tindak kejahatan penipuan dengan memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan,” pungkas Semuel.
(Indonesiatech)
Komentar