Presiden Joko Widodo hadiri World Economic Forum (WEF), Kamis (20/01). Presiden memaparkan sejumlah strategi kebijakan pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan ekonomi hijau.
Strategi tersebut yaitu pertama, melalui pembangunan rendah karbon sebagaimana yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
“Kedua, kebijakan net zero emissions, di mana dengan diterbitkannya peta jalan untuk mencapai net zero emission pada tahun 2060, termasuk net sink sektor kehutanan dan lahan tahun 2030. Ketiga, pemberian sejumlah stimulus hijau untuk mendorong peningkatan realisasi ekonomi hijau,” jelas Jokowi dalam sesi tanya jawab pada pertemuan secara virtual tersebut dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.
Presiden juga menjelaskan bahwa upaya konservasi dan restorasi lingkungan cukup berhasil dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, kebakaran hutan turun drastis. Jumlah titik panas (hotspot) pada tahun 2021 mencapai 1.369 titik, menurun jauh dari tahun 2014 sebanyak 89.214 titik. Demikian pula dengan luas lahannya yang pada tahun 2021 mencapai 229 ribu hektare, turun dari tahun 2014 yang mencapai 1,7 juta hektare.
Restorasi lahan gambut juga berjalan baik. Pada rentang 2016 hingga 2021, lahan gambut seluas 3,74 juta hektare telah direstorasi. Di samping itu, rehabilitasi mangrove dilakukan besar-besaran yang mencakup 50 ribu hektare lahan pada 2020-2021.
“Target 2024 600 ribu hektare, terluas di dunia dengan daya serap karbon empat kali lipat dibanding hutan tropis, bahkan dengan below ground mangrove dapat mencapai 10-12 kali lipat,” tambah Jokowi.
Kemudian, Pemerintah juga telah menyiapkan skema pembiayaan konservasi dan restorasi, yaitu melalui pendirian Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Selain itu, pemerintah juga melakukan penerbitan green sukuk, yaitu skema pembiayaan inovatif untuk membiayai agenda pembangunan yang ramah lingkungan.
Presiden Jokowi yakin, Indonesia berpotensi menjadi pemimpin pasar global dalam skema perdagangan karbon dunia. Malahan, Jokowi memprediksi Indonesia mampu mengalahkan potensi perdagangan karbon Peru, Kenya, dan Brasil sebagai sesama negara dengan luasan hutan tropis terbesar di dunia.
“Pembentukan harga carbon by country di Indonesia juga relatif bersaing dibandingkan negara pionir perdagangan karbon lainnya di dunia seperti Brasil, Peru, dan India,” pungkasnya.
DIketahui, Indonesia telah memiliki beberapa proyek percontohan REDD+ dengan skema Result-Based Payment (RBP), seperti Green Climate Fund (GCF), Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dan Bio Carbon Fund (BCF) dengan total nilai komitmen sekitar USD273,8 juta.
(Indonesiatech)
Komentar