Kementerian Kominfo resmi mengeluarkan Hak Labuh Satelit Khusus Non Geostasioner (NGSO) Starlink kepada PT Telkom Satelit Indonesia (Telkomsat). Hal itu dilakukan karena Telkomsat sebagai pemegang eksklusif atas Hak Labuh Satelit Starlink yang berhak mendapatkan layanan backhaul satelit.
Backhaul adalah teknologi yang memfasilitasi perpindahan data dari satu infrastruktur telekomunikasi ke infrastruktur telekomunikasi lainnya. Pita Backhaul digunakan jaringan untuk menghubungkan data yang dikirim dari BTS (Base Transceiver Satellite) ke BSC (Base Station Controller) dan BSC ke MSC (Mobile Switching Center) melalui jaringan lain atau link jaringan internal.
Teknologi tersebut bisa dipakai sebagai mendukung penyediaan layanan broadband internet terutama seluler 4G dan di daerah rurai yang belum tersambung secara langsung dengan kabel serat optik.
Ada pun layanan satelit Starlink hanya dapat beroperasi jika pembangunan Gateway Station – Terestrial Component untuk menerima layanan kapasitas satelit Starlink serta pengurusan Izin Stasiun Radio (ISR) Satelit Starlink telah dirampungkan oleh Telkomsat.
Operasional pemanfaatan layanan Starlink oleh Telkomsat, wajib tunduk pada regulasi yang berlaku, termasuk pemenuhan kewajiban hak labuh. Kerjasama yang dilakukan Indonesia dan Amerika Serikat mencakup rencana Indonesia dalam memilih 3 satelit generasi terbaru yaitu:
– 150 GB Very High Throughput Satellite (VHTS) diberi nama SATRIA (Ka-Band)
– 80 GB Very High Throughput Satellite (VHTS) sebagai Hot Backup Satellite (Ka-Band)
– 32 GB High Throughput Satellite (HTS) yang dimiliki Telkomsat (C dan Ku-Band)
Ketiga satelit itu direncanakan akan menggunakan roket peluncur SpaceX-Falcon 9 dan merupakan jenis satelit yang mengorbit di Geostasioner Orbit.
(Indonesiatech)
Komentar