Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementrian Dalam Negeri baru-baru ini membuka akses data kependudukan pada sejumlah perusahaan teknologi finansial (fintech) yang memiliki layanan pinjaman online.
Rio Priambodo, Staf Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menanggapi berita tersebut dan menyampaikan bahwa dibukanya akses data kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) kepada perusahaan fintech merupakan sebuah langkah yang sudah melewati batas.
Terdapat lima alasan mengapa Rio menyebut langkah tersebut sudah melewati batas:
- Otoritas Jasa Keuangan dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebelumnya telah mengizinkan perusahaan fintech mengakses data lokasi, mikrofon, kamera, dan email. Perusahaan tidak dapat mengakses data lainnya, selain keempat hal tersebut
- Data penduduk yang terdapat dalam database dukcapil merupakan ranah privat tiap-tiap orang, dengan dibukanya akses maka akan memperbesar risiko kebocoran data
- Perusahaan fintech dinilai terlalu berlebihan jika sampai mengakses data dari dukcapil, mengingat jumlah pinjaman yang diajukan relatif kecil, hal ini tidak sebanding dengan data pribadi yang seakan menjadi ‘jaminan’
- Pemerintah belum melindungi data pribadi warganya, terlihat dengan tidak terdapatnya undang-undang terkait perlindungan data pribadi. Hal ini menambah risiko penyalahgunaan data penduduk
- Sebagai pemilik data, seharusnya Kemendagri juga meminta persetujuan pengguna sebagai peminjam, sebelum memberikan data milik pengguna tersebut
Perusahaan fintech yang diberikan akses data oleh Kemendagri ini ialah PT Digital Alpha Indonesia (UangTeman), PT Pendanaan Teknologi Nusa (pendanaan.com), PT Ammana Fintek Syariah, PT Visionet Internasional (OVO), PT Astrido Pacific Finance, dan PT Commerce Finance (ShopeePayLater).
Selain itu, Kemendagri juga memberi akses pada lembaga jasa keuangan lainnya, seperti PT Bank Oke Indonesia Tbk, PT Mitra Adipratama Sejati (MAS) Finance, PT BPR Tata Karya Indonesia, dan PT Indo Medika Utama.
Zudan Arif Fakrulloh, Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri, mengatakan bahwa akses data yang diberikan kepada perusahaan fintech ini bertujuan untuk memverifikasi kecocokan data pengguna dengan data yang tercatat di Kemendagri.
“Jadi lembaga sudah memiliki data asal, kemudian dicocokkan dengan data kependudukan,” tutur Zudan.
Data yang diperlukan untuk proses verifikasi tersebut antara lain Nomor Induk Kependudukan (NIK), alamat, pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga. Zudan berharap dengan adanya kerja sama ini, maka dapat mencegah peminjam fiktif yang menggunakan data orang lain dan menyebabkan kerugian lebih besar untuk banyak pihak.