RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) saat ini masih berada pada tahap pembahasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Maraknya kebocoran data masyarakat saat ini membuat para pengamat mengatakan bahwa Indonesia sudah darurat perlindungan data pribadi.
Selain untuk mengantisipasi kasus kebocoran data, RUU PDP juga dirasa penting untuk menindak dan memberi sanksi tegas pada penyelenggara layanan ilegal, seperti fintech ilegal yang kian menjamur. Hal ini diungkapkan oleh Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi I DPR pada Senin (6/7).
“Keberadaan RUU PDP ini untuk bagaimana kami (fintech lending) memiliki legal framework,” kata Adrian Gunadi, Ketua Umum AFPI dalam rapat tersebut.
Selama ini, AFPI memiliki kode etik yang mengatur pemanfaatan pribadi pengguna. Fintech yang merupakan bagian dari AFPI pun harus mengikuti kode etik tersebut karena terdapat majelis etik independen yang bertugas sebagai pengawas.
Adrian menilai, keberadaan RUU PDP akan mendorong pengawasan kode etik tersebut menjadi lebih efektif. Kode etik ini antara lain mengatur bagaimana penyelenggara layanan dapat mengakses data, proses penagihan, hingga batasan bunga atau bagi hasil untuk fintech lending.
Pada 2019, Adrian mengatakan bahwa terdapat dua penyelenggara fintech lending yang melanggar kode etik. Salah satu penyelenggara mengakses kontak pengguna, padahal menurut kode etik yang dapat diakses hanya kamera, microphone, dan lokasi pengguna.
Sementara penyelenggara lainnya menetapkan bunga pinjaman sebesar 0,9% per hari. Besaran ini melanggar ketentuan dalam kode etik, yaitu sebesar 0,8% per hari. Asosiasi pun memberi sanksi pada kedua fintech tersebut.
Budi Gandasoebrata, Wakil Ketua Umum Aftech, mengatakan bahwa keberadaan RUU PDP akan memperkuat kode etik yang dimiliki asosiasi. Terlebih saat ini fintech illegal semakin marak dan berkembang bebas.
RUU PDP diharapkan juga dapat menghindari adanya penyalahgunaan data prbadi seperti yang terjadi baru-baru ini. Diketahui dari unggahan akun Twitter @prayogoafang, terdapat salah satu karyawan fintech pembayaran OVO yang menghubungi nomor pribadi konsumen untuk kepentingan pribadi.
Karyawan OVO tersebut menghubungi adik @prayogoafang melalui aplikasi pesan langsung untuk meningkatkan akun OVO menjadi premier. Oknum juga mengirim foto KTP korban, sebagai tanda kalau oknum memiliki data tersebut. Pihak OVO pun segera mengambil tindakan dan memecat karyawan tersebut.
(Indonesiatech)