Melansir dari data Refinitiv, batu bara sepanjang pekan ini melemah 0,4% ke US$ 123,5/ton. Meski demikian, sebelum terkoreksi, di hari Kamis (17/6/2021), batu bara berada di US$ 124,25/ton, yang mana merupakan level tertinggi sejak pertengahan 2011.
Kuatnya harga si hitam ini diperkirakan ada hubungannya dengan konflik antara China dan Australia yang tak kunjung membaik. Konflik tersebut membuat Negeri Panda memilih memboikot impor dari Negeri Kanguru dan lebih memilih impor batu bara metalurgi dari India.
Dengan demikian, China harus membayar lebih mahal, tetapi kebijakan tersebut masih berlaku sampai sekarang. China tak terima atas desakan Australia untuk mengusut tuntas asal-usul Covid-19 seolah memojokkan China sebagai penyebab pandemi global yang terjadi sampai saat ini.
Sementara itu belakangan ini juga ramai aksi penolakan terhadap batu bara karena dianggap tak ramah lingkungan. Namun meski begitu, hal tersebut belum mampu membuat harga si batu legam terjun bebas.
(Indonesiatech)
Komentar