Menarik untuk menyimak tulisan seseorang bernama Aven Jaman di narasikita.com beberapa waktu lalu.
“Kita harusnya sadar, pasar pengguna internet di Indonesia ini ratusan juta jumlahnya. Ini modal pasar yang sangat besar sekali. Masa iya, pasar ini masih dibiarkan dieksploitasi asing? Saatnya Bapak Johnny Plate selaku Menkominfo yang sekarang berkesempatan untuk mengukir prestasi untuk negeri”, demikian dia menulis.
Apa yang mendasarinya menulis demikian tak lain karena dipicu oleh huru-hara yang ditimbulkan oleh youtube terhadap para penggunanya beberapa waktu sebelumnya. Media sosial berbasis video yang beralamatkan California, AS, itu per 1 Juni kemarin kita ketahui telah menegakkan aturan yang dirasa tak adil bagi creator yang bukan penduduk Amerika Serikat.
Diketahui bahwa per tanggal itu, Google sebagai induk usaha youtube menurunkan kebijakan bahwa setiap video dari creator yang bukan penduduk AS dan ditonton oleh penduduk AS akan dikenai pajak Amerika Serikat. Besarannya tak tanggung-tanggung, 15-30% dari penghasilan bersih creator.
Kegusaran segenap creator pun terpicu. Namun apa hendak dikata, yang punya platform maunya begitu. Ingin terus melanjutkan karya berkreasi di youtube ya wajib tunduk. Tidak, silahkan tutup channel. Sialnya adalah tak ada jalur hukum yang bisa ditempuh untuk protes sebab wilayah hukum creator hanya seluas wilayah kedaulatan negerinya saja sementara youtube tunduk di bawah hukum negerinya juga yakni Amerika Serikat.
Ketidakadilan tercipta pada eksosistim di youtube mengingat pendapatan creator dari negeri bukan Amerika Serikat itu tergolong kecil. Indonesia misalnya, itu 60-an persen di bawah standar penghasilan youtuber Amerika Serikat bila disejajarkan. Sudah kecil, masih ditariki pajak pula oleh negeri asal platform itu jika ketahuan ada penduduk AS yang tonton videonya. Penjajahan intelektual pun terjadi di sini.
Inilah sumber kegusaran para content creator yang di dalamnya termasuk dari Indonesia namun tidak terekspresikan dengan baik lantaran tak punya jalurnya untuk menuntut keadilan. Beda kalau misal antara yang punya platform dan pengguna ada di satu wilayah hukum yang sama. Satu sama lain tentu akan berjuang mendapatkan haknya masing-masig secara proporsional.
Johnny Plate Patut Menggagas Hadirnya Medsos Bikinan Anak Negeri
Seperti tertuang pada judul tulisan ini, kondisi permedsosan tanah air yang sampai hari ini masih serba import adalah tantangan sekaligus peluang untuk setiap Menteri Kominfo negeri ini. Berhubung sekarang yang jadi Menteri adalah Johnny Plate, beliau patut memulai langkah revolusioner ini.
Caranya bagaimana? Kami pikir apa yang sudah dituangkan oleh Aven Jaman dalam tulisannya tersebut tadi patut diperhitungkan. Di sini kami kutip lurus-lurus apa yang dia usulkan di sana karena menurut hemat kami, usulan ini sangat bernas.
Satu, negara melalui Kominfo membuka peluang bagi siapapun anak negeri sendiri untuk berkreasi, berinovasi dan lalu mematenkan produk berupa aplikasi medsos sebagai khas milik Indonesia. Saya ingat, pernah dulu ada seorang anak muda Indonesia berhasil menciptakan Operating System bernama Garuda. Bagaimana kabarnya itu sekarang, orang dan aplikasinya?
Daripada kita pakai Machintosh, Windows atau Google, kan asyik kalau pakai milik sendiri: Garuda. Demikian pun kalau kita ingin punya aplikasi medsos sendiri. Sistem operasi saja bisa dibuat, apalagi kalau hanya sekadar aplikasi medsos. Maka aplikasi medsos seperti FB, IG, youtube, WA, Twitter, dll bakalan bisa kita ganti dengan bikinan anak negeri sendiri.
Dua, kepastian dari negara dalam mengawal, melindungi dan mengamankan perjalanan sebuah produk tekhnologi milik anak negeri sejak masih berupa Start Up hingga final sebagai produk layak pakai oleh publik.
Kemungkinan untuk itu semua terbuka lebar sebab bayangkan saja 4 dari 7 unicorn dunia itu temuan anak negeri ini. Artinya? Dari segi kemampuan SDM, anak-anak negeri ini sebetulnya tak kalah genius.
Tinggal kini, apakah negara berkenan mengondisikan kemunculan inovasi-inovasi dan kreasi baru di bidang tekhnologi, melindunginya juga. Bagaimana produk anak negeri bisa berkembang jika negara masih membiarkan produk asing masuk dan menguasai pasar internet di dalam negeri?
Tiru China! Setelah 80% warganya menggunakan Wechat baru WA boleh masuk. Setelah Alibaba menguasai 80% pasar domestik baru Amazon masuk. Itu pun yang asing itu dibuat ketat pengawasannya.
Kalau kita punya produk platform sendiri, Amerika dan China perang sampai keduanya hancur lebur sekalipun, kita tetap berjaya dengan karya kita sendiri.
Tiga, Kemenkominfo bekerja sama dengan Kementerisan Riset dan Tekhnologi menggelar sayembara berskala nasional, menantang para genius milik negeri ini di bidang IT untuk memresentasikan kreasi atau inovasinya. Saya usulkan nama aplikasinya adalah Jalinusa. Nama ini bermakna sebagai media perekat silaturahmi nasional antaranak bangsa.
Begitu juara sudah terpilih, kedua kementerian itu sebagai perpanjangan negara segera mengondisikan sekaligus memfasilitasi dengan langkah-langkah lanjutan sbb:
- Platform hasil bikinan para juara segera dipatenkan sebagai milik negara, penemunya diganjari dengan jabatan sebagai Komisaris Utama apa direktur utama, royalti juga sekian persen diperuntukkan baginya, namun mayoritas royalti masuk kas negara. Misal 70 untuk negara, 30 untuk penemu, di samping penemu tetap dijadikan sebagai Presdir atau Komisaris Utama platform tersebut. Jadi di sini ada apresiasi kepada penemu, negara diuntungkan. Win-win solution.
- Paksa operator seluler yang beroperasi di Indonesia untuk bundling produk mereka (kartu perdana atau form pengiisian pulsa) dengan platform medsos yang tadi terpilih sebagai juara sayembara. Demikian pula, mereka yang mau beli laptop atau komputer, wajib menjadikan bundling perangkat dengan aplikasi medsos tadi. Tanpa ada bundling, perangkat tak bisa dipakai.
- Perlahan-lahan kemudian jika sudah dirasa telah merata, usir sudah aplikasi bikinan luar. Atau kalau pun tetap bisa diakses namun diberi batasan-batasan tertentu..
Apabila misal Menteri Johnny ragu, mungkin baik apabila yang bersangkutan dipanggil untuk didengarkan langsung ide bernasnya tersebut.
Sebagai bentuk dukungan kami terhadap gagasan bernas tersebut, di sini kami tambahkan masukan untuk Bapak Menteri.
4. Semua produk medsos luar diperketat. Apa yang tersedia di Playstore (Google) atau Appstore (Apple) pada handphone-handphone yang ada di tangan rakyat Indonesia wajib tunduk pada aturan hukum yang berlaku di sini. Jangan ada platform liar tak terdaftar karena rentan untuk tak terawasi. Karena tak terpantau, bisa saja memraktekkan hal-hal yang diharamtabukan di negeri ini. Jadi, pengguna Indonesia baru bisa instal di HP-nya jika platform media aplikasi medsos tersebut sudah teruji layak untuk keadaban bangsa ini. Yang tak layak dan tak patut, singkirkan! Untuk itu Playstore dan Appstore pun wajib tunduk pada aturan hukum di sini. Jika mereka tidak mau, ya pikirkanlah untuk punya toko penyedia aplikasi sendiri pengganti playstore dan appstore dengan adopsi cara pengadaan aplikasi medsos usulan Aven Jaman tersebut pula.
5. Jika kekurangan sumber pendanaan proyek dari sejak selenggarakan sayembara hingga penuntasannya jadi medsos milik bangsa sendiri, perusahaan-perusahaan yang bergerak di ekosistem digital bisa dimintakan bantuan direksinya untuk anggarkan CSR mereka guna memuluskan proyek mercusuar pemunculan medsos milik negeri sendiri tersebut. Cara lainnya adalah lelang tender ke publik. Perusahaan pemenang berhak mendapat fee berupa saham mayoritas untuk jangka waktu tertentu, selanjutnya diserahkan ke negara atau apalah win-win solutionnya yang sama-sama untung.
6. Jika Menteri Johnny ragu atau takut bakal dapat badai protes dari mereka yang selama ini telah diuntungkan dari medsos-medsos luar, tinggal jaminkan saja ke mereka untuk dimigrasikan datanya ke platform baru tersebut beserta follower lamanya dari sesama anak negeri sedang kalau ada dari luar memang mesti diikhlaskan atau persilakan yang bersangkutan untuk komunikasikan sendiri dengan yang dari luar negeri itu. Kami rasa, demi nasionalisme, tak ada alasan bagi mereka untuk menolak.
Menurut hemat kami, itu saja tantangannya. Namun sekalinya udah terbiasa, kita tidak akan lagi dijajah oleh bangsa lain melalui platform-platform milik mereka.
Tidaklah lucu, penduduk Amerika Serikat yang tidak sampai setengahnya penduduk Indonesia malah disejahterakan oleh kita yang ada di Indonesia, langsung pun tak langsung lewat media sosial bikinan mereka yang beredar di sini.
7. Medsos berpuncak pada akun ofisial pengelola aplikasi. Di bawahnya ada akun untuk presiden, menteri beserta jajaran struktural di bawahnya. Ketua DPR, Ketua MPR, Jaksa Agung, dan Ketua-ketua lembaga tinggi negara lainnya sejajar di sekeliling akun ofisial mirip binary system. Masing-masing dari mereka kemudian merekomendasikan akun untuk anggota keluarganya. Sebenarnya bisa saja kita manfaatkan database di catatan sipil bagaikan mengurus Kartu Keluarga. Namun ini penting untuk berbinary system supaya mudah menelusuri siapa yang mengunggah status di medsosnya kelak secara ngawur, garis komando ke atasnyalah yang disuruh bertanggung jawab. Catat! Kesannya memang seperti negara hendak mengontrol semua aktifitas berjejaring sosial rakyatnya, namun tanpa itu, harus habiskan anggaran dan tenaga berapa lagi bagi kita untuk mengurusi warganet yang cuap-cuap sesuka hati di akun medsosnya? Pikirkan dari sisi itu!
Hemat kami, apabila Pak Menteri berkenan merealisasikan gagasan ini, satu langkah revolusioner demi kemerdekaan sejatinya bangsa ini terlaksana. Kepada Pak Menteri gelar pahlawan nasional bidang industri digital pun patut diberikan. Semoga.
[Redaksi indonesiatech.id]
Komentar