Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat, setidaknya ada 47 kasus kejahatan siber berupa peretasan hingga data bocor di Indonesia sejak 2019. Sektor e-commerce dan instansi pemerintah adalah yang paling banyak dijadikan sasaran.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Tata Kelola Direktorat Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Kominfo Teguh Arifiyadi mengatakan, sedikitnya ada tiga kasus kejahatan siber pada periode pertama di 2022. Sedangkan keseluruhan jumlah kasus pada tahun lalu ada 20 serangan siber.
“Instansi publik menjadi perhatian kami, karena pemerintah punya kewajiban yang sama dalam menjaga data masyarakat,” jelas Teguh dalam konferensi pers virtual pada Kamis (27/1).
Saat Pandemi Sektor e-commerce mencatatkan 29,8% kasus kejahatan siber. Sedangkan instansi pemerintah 25,5%. Disusul oleh jasa keuangan 17%, media sosial 6,4%, dan telekomunikasi 4,3%. Kominfo mengenakan sanksi administratif terhadap delapan kasus kejahatan siber.
Data Sebelumnya, perusahaan teknologi Palo Alto Networks pada 2020 menyampaikan bahwa sistem perusahaan e-commerce paling berpotensi dibobol atau diretas. Sebanyak 66% dari total 400 responden menyebut demikian.
Senada dengan Teguh, Chief Digital Forensic PT DFI Ruby Alamsyah juga mengatakan bahwa pelaku kejahatan siber menyasar sektor e-commerce karena memiliki data yang cukup banyak.
“Mereka sudah amankan password dengan algoritme hashing khusus. Tapi kesalahannya, mereka tidak mengamankan secara optimal data pribadi lainnya,” paparnya.
Selain yang terbaru, kantor cabang Bank Indonesia (BI) diduga dibobol oleh peretas asal Rusia, di bulan yang sama jutaan data pasien di berbagai rumah sakit di server Kementerian Kesehatan juga diduga bocor.
Kemudian ada pula hacker asal Brasil yang menyebut dirinya ‘son1x’ mengklaim telah membobol data Polri. ‘son1x’ mengaku sudah memiliki data pribadi dan rahasia para anggota Polri beserta orang-orang terdekat.
Spesialis Keamanan Teknologi Vaksincom, Alfons Tanujaya mengatakan, gangguan pada sistem keamanan lembaga negara seperti Bank Indonesia sangat berbahaya.
“Apalagi BI pengelola kebijakan moneter negara dan informasi yang dikelolanya bersifat strategis,” katanya dalam siaran pers, Senin (24/1).
Ia berpendapat, kebocoran data Bank Indonesia memang tidak mengakibatkan kerugian finansial secara langsung kepada masyarakat. Namun bisa berdampak sangat besar bagi dunia finansial Indonesia.
(Indonesiatech)
Komentar