Perkembangan Industri fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) semakin pesat dan berhasil mencetak laba bersih untuk pertama kalinya senilai Rp 50,48 miliar pada Januari 2023. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan, kondisi itu membalikan kerugian fintech lending yang terus terjadi sepanjang tahun lalu.
Sebelumnya pada Januari 2022 lalu, industri fintech masih menanggung rugi Rp 16,14 miliar. Begitu pula Desember 2022, industri ini juga masih rugi Rp 41,05 miliar.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kuseryansyah, hal tersebut disebabkan oleh peraturan OJK yang mewajibkan pelaku fintech lending harus mendapatkan tanda terdaftar sebelum menjalankan kegiatan operasional.
“Karena syarat fintech yang lalu itu harus terdaftar dan berizin. Jadi kendalanya ketika dia terdaftar, belum bisa kerja sama maksimum dengan perbankan. Karena perbankan persyaratannya ketat, fintech harus memiliki izin,” jelas Kuseryansyah.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh AFPI pada 2018, pendanaan yang berasal dari perbankan dan multifinance hanya sebesar 28%.
“Artinya kue paling besar itu dari super lender, dan sebagian kecilnya lagi dari individual lender. Penyebabnya apa? Ya karena dulu kerja sama dengan perbankannya lebih terbatas,” terang Kuseryansyah.
“Kalau penyalurannya meningkat, tentu revenue-nya atau income manajemen fee yang didapat oleh P2P lending akan meningkat. Ujung-ujungnya tentu akan berdampak ke profit and loss P2P lending itu semakin baik. Dan ini sudah terlihat dari masa semua sudah berizin sampai sekarang, itu (laba bersih) langsung Rp50 miliar,” tambahnya.
Kuseryansyah pun yakin bahwa ke depannya industri P2P lending akan semakin terus konsisten mengalami peningkatan.
(Indonesiatech)
Komentar