The Fed atau Bank sentral Amerika Serikat (AS) yang kemarin umumkan hasil rapat kebijakan moneter membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, hingga obligasi Indonesia rontok ke zona merah. Tekanan lain datang juga dari dalam negeri. Melonjakknya kasus corona (Covid-19) membuat aset-aset tersebut terancam kembali merosot pada sepekan ke depan.
IHSG sepekan lalu mencatat pelemahan 1,45% ke 6.007,12. Penurunan tersebut menjadi yang pertama setelah sebelumnya tercatat penguatan 3 pekan beruntun.
Saat-saat The Fed umumkan kebijakan moneter, Kamis (17/6/2021) dini hari waktu Indonesia, kabar tersebut mengejutkan pasar dengan memberikan proyeksi suku bunga akan naik di tahun 2023. Tidak hanya sekali, bahkan bisa ada 2 kali kenaikan suku bunga masing-masing 25 basis poin hingga menjadi 0,75%.
Proyeksi tersebut jauh lebih cepat ketimbang yang diberikan bulan Maret, yakni kenaikan suku bunga di tahun 2024. Setelah pengumuman tersebut, yield obligasi (Treasury) AS mengalami kenaikan, yang selisihnya dengan SBN menyempit. Alhasil, aksi jual menerpa SBN.
Proyeksi suku bunga ditambah dengan kenaikan yield Treasury AS membuat dolar AS begitu perkasa. Sepanjang pekan ini, indeks dolar AS melesat 1,8% ke 92,346, level terkuat sejak awal April. Rupiah pun terpukul.
Bursa saham AS (Wall Street) juga ikutan merosot merespon pengumuman The Fed. Rontoknya IHSG, rupiah hingga SBN terjadi saat makin banyak tanda-tanda perekonomian Indonesia bangkit di kuartal ini dan terlepas dari resesi.
Badan Pusat Statistik (BPS) pekan lalu melaporkan, nilai ekspor Indonesia sebesar US$ 16,6 miliar. Turun 10,25% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM), tetapi melonjak 58,76% dari Mei 2020 (year-on-year/YoY). Dengan nilai ekspor impor tersebut, neraca perdagangan mencatat surplus US$ 2,37 miliar.
Memang impor dapat diartikan pengurang dari produk domestik bruto (PDB), namun impor Indonesia kali ini didominasi oleh bahan baku/penolong dan barang modal, yang digunakan untuk kepentingan industri dalam negeri. Oleh sebab itu, saat impor naik maka industri di dalam negeri kembali menggeliat. Di sisi lain, kenaikan ekspor menjadi indikasi perekonomian global yang mulai pulih.
(Indonesiatech)
Komentar