Seorang warganet, sebut saja Mr. Z, secara akademis kelihatannya well educated. Apalagi jabatan yang disandangnya tak main-main, rektor sebuah universitas. Gelar guru besar (baca: Profesor) di depan gelar doktor yang tertulis pada namanya seakan menjadi konfirmasi kalau yang bersangkutan berpengetahuan luas.
Apa benar begitu? Ya, barangkali di tempat kerjanya sehari-hari, beliau adalah orang yang berkompetensi relevan. Namun, jika yang bersangkutan kita tilik pada kemampuannya bersosial media, rasanya kita tidak akan percaya kalau yang bersangkutan bergelar guru besar.
Postingannya di media sosial didapati beberapa di antaranya mengandung unsur penyesatan informasi. Hal mana sangat membahayakan pembaca postingannya yang tidak paham fakta sesungguhnya. Tingkat bahaya ini tergolong tinggi mengingat dia tergolong sebagai tokoh. Penyerap informasi dari postingan penyesat informasi seperti dirinya pun dapat ditebak bakal menjadi bodoh, kalau tak mau dikatakan sebagai sesat informasi.
Seseorang yang lain, doktor di bidang hukum, anggota DPR RI, dalam sebuah postingannya di akun twitter miliknya pernah menuduh Presiden Jokowi memelihara preman tatkala hoax penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet beredar beberapa waktu silam.
Rektor universitas bergelar profesor namun menyesatkan, doktor bidang hukum namun main tuduh adalah beberapa contoh tentang gelar akademis tak menjadi jaminan mutu kecakapan seseorang dalam memanfaatkan tekhnologi digital. Sebuah gambaran yang memaksa kita untuk tidak cepat-cepat menelan sebuah postingan atau pun berita meski datang dari sumber yang bergelar mentereng secara akademik.
Data Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami digital talent gap atau kesenjangan talenta digital, di mana kita membutuhkan 9 juta talenta digital dalam 15 tahun; atau rata-rata 600.000 talenta digital setiap tahunnya. Data ini diungkapkan sendiri oleh Menteri Kominfo Johnny Plate dalam Siaran Pers No.123/HM/KOMINFO/04/2021.
Ini berarti bahwa ruang kemungkinan untuk terjadinya penyesatan informasi dan pembodohan publik terbuka cukup luas. Karenanya butuh semacam terobosan guna mengatasi kesenjangan seperti itu. Singkatnya, kemajuan dunia di bidang informasi butuh sebuah seni tersendiri. Mungkin terlalu ideal kalau kita mengangankan adanya semacam kewajiban mengikuti kursus bermedia sosial bagi segenap pengguna aplikasi media sosial. Tapi kebutuhan akan adanya ketertiban bermedia sosial jelas kita sadari akibat adanya fakta seperti dalam contoh di atas.
Gerakan Nasional Literasi Digital Kominfo, Bentuk Tanggung Jawab Pemerintah Atasi Tuna Informasi
Kemajuan IPTEK di bidang informasi dan telekomunikasi adalah sebuah kemutlakan peradaban manusia. Siap tidak siap, setiap orang kini dipaksa untuk terjebak dalam arus itu kalau tidak ingin ketinggalan zaman.
Di sinilah negara dibutuhkan hadir mengatur supaya tak ada yang menjadi celaka, korban kemajuan. Maka, keberadaan Gerakan Nasional Literasi Digital yang digagas Kementerian Kominfo sepatutnya dipandang sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam mengatur lalu lintas bermedia dan bermedia sosial.
Sebagaimana dirilis oleh Kementerian Kominfo pada portal resmi mereka, Menkominfo Resmi Luncurkan Gerakan Nasional Literasi Digital untuk 12,4 Juta Masyarakat.
Di dalamnya, Kominfo memaketkan 4 modul yakni: (1) Budaya Bermedia Digital; (2) Aman Bermedia Digital; (3) Etis Bermedia Digital; dan (4) Cakap Bermedia Digital. Melalui program ini diharapkan agar tak ada lagi pemandangan miris seperti yang tadi diungkapkan.
Keempat modul ini, kata Menteri Kominfo Johnny Plate, akan dilakukan di 34 provinsi, 514 kabupaten kota selama 8 bulan ke depan sampai akhir tahun, dan secara berkesinambungan akan dilakukan di tahun-tahun berikutnya sampai akhir masa kabinet sekarang (2024).
Menurut Menteri Johnny, dengan berkembangnya digitalisasi di Indonesia, maka kecakapan-kecakapan ini menjadi mutlak untuk diketahui. Ia menjelaskan, kegiatan itu merupakan hasil kerjasama antara Kominfo, bersama Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi, pemerintah daerah, sekitar 110 lembaga dan organisasi organisasi kemasyarakatan yang akan melakukan secara bersama-sama, kerja kolaboratif. Total kegiatan itu berjumlah 20.000.
Demikianlah, apa yang dilakukan oleh Kominfo melalui GNLD boleh kita lihat sebagai cara negara bertanggung jawab atas kualitas kita senegeri dalam bermedia dan bermedia sosial. Maka dapatlah ini dianggap sebagai cara negara mencerdaskan bangsa tatkala bangku sekolah saja tak cukup untuk mewaraskan bangsa.(*)
[Tim Redaksi Indonesiatech]
Komentar